by : Sapariah
DI beberapa tempat di wilayah Indonesia, kini disibukkan agenda pemilihan kepala daerah (pilkada). Ada yang sudah pemilihan, ada pula dalam proses persiapan. Tentu berharap siapa pun figur pemimpin daerah membawa daerah menjadi lebih baik. Tantangan sebagai kota/kabupaten saat ini dihadapkan berbagai macam masalah yang harus diatasi dengan sistematis. Permasalahan masyarakat, terutama daerah urban atau perkotaan sangat kompleks dan berdampak pada masalah ekonomi, sosial, peningkatan jumlah penduduk, serta perubahan lingkungan. Beberapa masalah muncul antara lain pengangguran, lahan permukiman sempit, dan polusi udara akan berdampak kepada penurunan derajat kesehatan masyarakat di daerah urban atau perkotaan.
Begitu peliknya masalah perkotaan, pada Hari Kesehatan Sedunia ke-62 tahun 2010, WHO mengambil slogan “1.000 Kota, 1.000 Kehidupan”. Slogan ini mengandung makna ajakan dan motivasi agar pemimpin dan para penentu kebijakan dapat merumuskan dan menerapkan kebijakan publik yang berwawasan kesehatan. Juga ajakan dan motivasi agar tokoh masyarakat dan penggerak masyarakat bersama masyarakat melakukan aksi peningkatan kesehatan di lingkungan kehidupan.
Pemerintah bersama segenap komponen masyarakat harus lebih fokus melaksanakan program aksi terutama promosi dan preventif terkait dampak masalah perkotaan pada kesehatan masyarakat. Yaitu, melalui pengembangan kota berwawasan kesehatan dan pemberdayaan masyarakat termasuk swasta dalam membangun warga masyarakat yang sehat. Untuk mengimplementasikan pengembangan kota berwawasan kesehatan dan pemberdayaan masyarakat, para pemimpin daerah perlu mengetahui isu dasar kesehatan agar mereka lebih melek kesehatan.
Pertama, perlu dipahami masalah pemerataan kesehatan dan pemerataan pelayanan kesehatan dua hal berbeda. Pemerataan kesehatan tidak selalu disertai penyediaan pelayanan kuratif (RS) yang merata dalam pengertian matematika. Seperti, penempatan rumah sakit atau puskesmas dan tenaga dokter di tiap kecamatan.
Bukti menunjukkan keterikatan ini justru membuat biaya pemeliharaan kesehatan makin mahal dan tidak terjangkau. Pemerataan kesehatan harus diartikan sebagai pemerataan untuk hidup sehat justru dicapai melalui lintas sektoral seperti (1) peningkatan pendidikan, (2) Penyebaran informasi tentang kesehatan dan cara hidup sehat, (3) Perbaikan sanitasi tempat tinggal, tempat kerja, sekolah, dan lingkungan secara umum, (4) Penyediaan air bersih, (5) Penyediaan makanan bergizi, (6) Perbaikan sarana transportasi, penerangan dan komunikasi, (7) Imunisasi dan pencegahan penyakit, (8) Penyediaan sarana kuratif. Karena itu, penghitungan alokasi dana bagi kesehatan mesti meliputi cakupan bidang-bidang itu. Tidak terpaku pada alokasi kebutuhan pelayanan kesehatan saja yang justru berorientasi kuratif.
Kedua, revitalisasi puskesmas sebagai pusat pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan. Sesuai maksud dan tujuan, fungsi dan peran puskesmas harus lebih menitikberatkan sebagai penggerak pembangunan berwawasan kesehatan di kecamatan. Juga menumbuhkan pemberdayaan masyarakat dan keluarga di bidang kesehatan masyarakat. Selama ini, puskesmas tidak lebih dari sebuah “miniatur RS”, hanya menitikberatkan pada fungsi pengobatan.
Ke depan, puskesmas lebih bermakna merangsang bagaimana agar penduduk tetap sehat dengan pemberian pendidikan kesehatan, kegiatan promosi dan preventif, bukan menunggu penduduk sakit kemudian diobati. Indonesia, termasuk di Surabaya, berada dalam triple burden, yakni masih tinggi penyakit menular seperti malaria, diare, demam berdarah. Diiringi meningkatnya penyakit tidak menular seperti jantung, hipertensi, stroke dan diabetes. Dan diikuti munculnya new emerging infectious diseases, seperti flu burung. Sejatinya, semua dapat dicegah dengan pendekatan kemasyarakatan melalui berbagai program layanan luar puskesmas.
Terpenting pula, puskesmas hendaknya tidak lagi dibebani sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD). Kegiatan puskesmas perlu dilihat sebagai upaya investasi. Karena itu, pemerintah daerah perlu mengalokasikan dana sebagai dana investasi manusia yang bermanfaat dalam jangka panjang. Tolok ukur keberhasilan pemerintah daerah dalam bidang kesehatan bukan pada berapa banyak rumah sakit dan balai pengobatan yang didirikan atau berapa besar membiayai pengobatan bagi yang miskin, tetapi pada seberapa jauh penyakit menular dapat dicegah. Seberapa besar kematian yang tidak seharusnya bisa dihindarkan, seberapa jauh kecacatan akibat penyakit dapat dikurangi, seberapa jauh rakyat didorong berperilaku sehat, dan seberapa jauh pemerintah daerah mengantisipasi kedatangan wabah baru sebelum masuk ke Indonesia
Ketiga, mewujudkan gerakan kota sehat. Gerakan ini, merupakan gerakan masyarakat dengan berupaya terus-menerus dan sistematis didukung pemerintah daerah setempat meningkatkan kualitas lingkungan fisik dan lingkungan sosial melalui pemberdayaan potensi masyarakat (HAKLI, 1999).
Kegiatan green and clean sebagaimana dilakukan beberapa daerah perlu tambah porsi. Mungkin awalnya dititikberatkan pada aspek pengelolaan sampah dan kebersihan kampung (penyehatan lingkungan fisik). Selanjutnya, bisa berkembang terus ke arah penyehatan lingkungan sosial, seperti pelembagaan perilaku hidup sehat, pembudayaan olahraga, peningkatan disiplin masyarakat, penurunan angka kriminalitas dan seterusnya.
Keempat, mengupayakan program jaminan kesehatan bagi penduduk. Seiring diberlakukan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, pemerintah kabupaten /kota berupaya mampu menyediakan dana program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi penduduk yang diambil dari APBD dan pajak. Kelima, tak kalah penting merevitalisasi peran Dinas Kesehatan (Dinkes) sebagai kelompok dinas “produktif” tidak lagi sekadar dinas yang masuk dalam golongan “kesra” yang lebih berkonotasi pada definisi sosial dan konsumtif. Ke depan, Dinkes perlu dilibatkan dalam jajaran koordinator perekonomian. Karena sejatinya sektor kesehatan adalah investasi dan produktif.
Rachmad Puageno
Sekretaris Perhimpunan Sarjana Kesehatan Masyarakat Se-Indonesia (Persakmi)
0 comments:
Post a Comment